Jumat, 15 Juli 2016

Aqiqah Anak Yang Sudah Meninggal

Aqiqah Anak Yang Sudah Meninggal


Tanya :

Ustadz, anak saya berumur 11 tahun baru saja meninggal dan belum dilakukan aqiqah untuknya saat dia lahir. Apa hukumnya kalau sekarang saya mengaqiqahi anak saya yang sudah meninggal itu? (Nurwidianto, Bantul).



Jawab :

Para ulama berbeda pendapat menjadi tiga pendapat mengenai hukum melaksanakan aqiqah untuk anak yang meninggal dan belum pernah dilakukan aqiqah untuknya. (Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al ‘Aqiqah, hlm. 129-130).

Tiga pendapat tersebut adalah sbb; pertama, wajib hukumnya secara mutlak melaksanakan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal. Ini adalah pendapat Imam Ibnu Hazm. (Ibnu Hazm, Al Muhalla, 6/234).

Kedua, sunnah hukumnya melaksanakan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal. Ini pendapat yang dianggap lebih sahih (ashah) dari dua versi pendapat ulama Syafi’iyyah sebagaimana disebut oleh Imam Rafi’i, juga merupakan satu qaul (pendapat) dari ulama Hanabilah. (As Syarhul Mumti’, 7/540).

Ketiga, aqiqah gugur hukumnya jika anak sudah meninggal. Ini merupakan satu versi lainnya dari dua pendapat di kalangan ulama Syafi’iyyah, dan juga qaul (pendapat) dari ulama Malikiyyah. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/432; Al Muntaqa, 4/200).

Setelah mendalami dalil-dalilnya, pendapat yang rajih (paling kuat) adalah pendapat kedua yang memandang sunnah melakukan aqiqah bagi anak yang sudah meninggal. Alasan pentarjihannya ada 2 (dua) alasan sbb;

Pertama, bahwa pendapat ketiga yang menggugurkan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal, tidak dapat diterima. Karena “sebab” pelaksanaan aqiqah itu tetap ada, yaitu kelahiran anak (al wiladah), meski anaknya sendiri sudah meninggal. Para fuqaha sepakat bahwa kelahiran anak (al wiladah) itulah yang menjadi “sebab” pelaksanaan aqiqah. (Hisamudin ‘Ifanah, Al Mufashshal fi Ahkam Al ‘Aqiqah, hlm. 132).

Oleh karena itu, selama sebab itu ada,  maka akibat hukumnya --yaitu pelaksanaan aqiqah-- tetap ada dan tidak gugur. Sebaliknya jika sebab suatu hukum sudah tiada, maka menjadi tiada pula pelaksanaan hukumnya. Kaidah fiqih menyebutkan : zawaalul ahkaam bizawaali asbaabiha (tiadanya hukum disebabkan oleh tiadanya sebab-sebab pelaksanaan hukumnya). (Imam Izzuddin bin Abdis Salam, Qawa’idul Ahkam fi Mashalih Al Anam).

Kedua, pendapat pertama yang mewajibkan aqiqah untuk anak yang sudah meninggal, juga tidak dapat diterima. Hujjah pendapat ini adalah hadits ‘Aisyah RA yang menyebutkan bahwa Nabi SAW memerintahkan mereka (amarahum) untuk mengaqiqahi anak laki-laki dengan dua kambing yang setara dan anak perempuan dengan satu kambing.” (HR Tirmidzi). Menurut ulama Zhahiriyah, kata “amarahum” (Nabi SAW memerintahkan) menunjukkan adanya perintah (amar), dan arti asal dari amar adalah wajib. Maka aqiqah itu hukumnya wajib. (Imam Shan’ani, Subulus Salam, 4/97-98).


Namun pendapat tersebut tidak tepat, karena terdapat qarinah (indikasi) yang menunjukkan bahwa perintah itu bukan perintah wajib, melainkan perintah sunnah. Sebab terdapat hadits yang mengaitkan pelaksanaan aqiqah dengan kesukaan (mahabbah) dari mukallaf (ayah si anak). Andaikata aqiqah wajib, niscaya tidak dikaitkan dengan kesukaan mukallaf, melainkan harus dilakukan baik mukallaf suka atau tidak. (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/426).

Dari ‘Amr bin Syu’aib RA dari ayahnya dari kakeknya, bahwa Nabi SAW bersabda,”Barangsiapa yang suka di antara kamu untuk mengaqiqahi anaknya, maka hendaklah dia melakukan (aqiqah); untuk anak laki-laki dua kambing yang setara dan anak perempuan satu kambing.” (HR Ahmad 2/182; Abu Dawud no 2742; Nasa`i 7/626). (Imam Syaukani, Nailul Authar, hlm.1022).


Berdasarkan dua alasan tersebut, maka pendapat yang paling kuat (rajih) adalah yang tetap mensunnahkan aqiqah untuk anak walaupun anaknya sudah meninggal. Imam Nawawi berkata,”Kalau sekiranya anak yang dilahirkan meninggal setelah hari ketujuh dan setelah adanya kemampuan untuk menyelembelih aqiqah, maka di sini ada dua pendapat sebagaimana disebutkan oleh Imam Rafi’i; yang pertama dan ini yang paling sahih, yakni tetap mustahab (sunnah) untuk mengaqiqahi anak itu...” (Imam Nawawi, Al Majmu’, 8/432). Wallahu a’lam.[]

0 komentar:

Posting Komentar